Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan pelajaran
dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan hidup para wanita
muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya. Mereka adalah wanita yang
kisahnya terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka
kepada Islam lebih kuat daripada keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia.
Salah satu diantara mereka adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid
bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar
Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.
Siapakah Ummu Sulaim ?
Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal
keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang
wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan
Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam.
Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan
aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari
sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya
justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang
takjub dan bangga dengan ketabahannya.
Dan, apakah kalian tahu wahai saudariku???
Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan
perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir. Abu Thalhah
memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun,
Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia
yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan
memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau
berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja
engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak
halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar
bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al
Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60). Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim
dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian
yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan
tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat
keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri
selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku,
berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang
wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah
Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita
untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah: “Di
antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR.
Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah
maharnya.” (HR. Abu Dawud)
Demikianlah sahabatku…
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam
kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin
keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu
motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita. Wallahu Waliyyuttaufiq.